Belum waktunya
“Aku suka sama kamu.”
“Maaf. Tapi aku ga bisa terima kamu sekarang.”
Semenjak kejadian
itu aku berusaha untuk menjauh dan menjaga jarak dengannya. Untung saja
kenaikan kelas ini aku tidak sekelas lagi denganya. Aku masuk ke kelas 2.A dan
dia beserta teman-temannya terdampar di kelas 2.C. Sayangnya juga aku dan teman
dekatku berbeda kelas, kami harus memulai kehidupan baru. Menyebalkan sih harus
beradaptasi lagi, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ada kewenangan untuk
memprotesnya? Siapa aku?
Seminggu berlalu
dikelas baru, aku sudah bisa melupakannya, meskipun agak sulit karena aku dan
dia sering bertemu di koridor. Untuk ke kelasnya dia harus melewati kelasku dan
aku duduk di dekat pintu kelas. Membuatku sedikit menyesal memilih disini. Seharusnya
kalau ingin benar-benar menghindar tak ada alasan untuk tahu lagi tentangnya.
“Flora .....
Flooooo”sapa Vina, dia teman baruku yang sekarang duduk disebelahku.
“Apa?”jawabku
agak malas. Vina hanya menelan ludah mendengar reaksiku. Meskipun kami baru satu
kelas, sewaktu pendaftaran masuk kami sempat berkenalan. “Tuh guru mau masuk. Kamu
mau kena lemparan penghapus lagi.”jawabnya lembut.“Iya.”kataku.
Akhirnya pelajaran
hari ini berlalu juga, tapi karena jadwal piketku. Vina pulang duluan bersama
yang lain. Entah apa yang membuatku harus bersyukur atau merutuki kesialanku. 5
menit setelah mereka pergi, aku melihat Kevin masuk ke kelasku dan duduk di
tempat duduk ku. Karena itu aku dengan cepat duduk di lantai. Bersembunyi saat
dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.
Setidaknya aku
beruntung, saat dia datang, aku sedang di ujung kelas mengambil beberapa sapu. “Loh
Kevin, sedang apa?”tanya Karin, teman yang satu regu piket denganku. “Sstt..
aku sedang bersembunyi. Bisa jangan bilang siapa2?katanya sambil meletakkan telunjuk
di bibirnya.
Setelah itu Karin
berjalan menuju ke arahku. “Oia Vin. Lihat Flora nggak?”tanyanya lagi. Yang ditanya
hanya menggelengkan kepala sambil mengintip keluar kelas. “Loh Flora. Ngapain disitu?”katanya
lagi saat melihatku duduk bersimpuh di lantai. Terlihat wajahnya yang keheranan
melihat sikap anehku. “Hehehe.. tadi aku mencari gantungan ponselku.”kataku
mencari alasan sekenanya.
Aku hanya
tersenyum aneh pada Karin lalu bangun sambil memegang gagang sapu agak takut. Aku
sedikit melirik ke arah Kevin, saat itu dia hanya menatap aneh saat kemudian
melanjutkan kegiatannya yang tak jelas itu. Aku hanya diam saat Kevin berbicara
dengan Karin. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Aku dan Karin selesai
mengerjakan tugas kami kemudian meletakkan semua peralatan ke tempat semula.
“Vin. Mau sampai
kapan disitu?”
“Emang sudah
selesai piketnya.”
“Udahlah. Nggak liat
udah bersih.”
“Ooh.. baguslah. Tugas
merhatiin kamu piket selesai juga.”
“Hahh.”
“Bercanda. Udah ya
aku duluan.”
Kulihat wajah
Karin merah merona. Siapa yang tidak menyukai Kevin? Wajahnya yang tampan
adalah nilai plus mendapatkan hatinya. Anaknya supel, IQ nyapun di atas
rata-rata, guru, penjaga sekolah dan satpam pun mengenal kepribadiannya yang
ramah. Banyak yang suka padanya dan mengatakan suka. Tapi dengan lembut di
tolaknya dan di ajak berteman.
Aku termasuk fans
yang menyatakan cinta. Beruntungnya aku meskipun ditolak aku melakukannya
dengan tanpa wajah. Maksudnya, aku mengatakan suka melalui SMS. Mungkin norak
dan agak pengecut, tapi menulis beberapa kata itupun sudah berulang kali
kulakukan.
“Florra.”katanya
dengan agak kesal. “Kenapa jadi sering melamun sih.”keluhnya saat aku tak sadar
juga dengan panggilannya. Ia kemudian menarikku keluar kelas. Cuaca saat ini
agak mendung, membuatku agak takut kehujanan. Jarak rumahku agak jauh dari
Karin ditambah kendaraan jam segini pasti sangat sulit.
“Maaf yah Flo. Aku
dijemput Kakakku.”katanya dengan menyesal. “Gak apa-apa kok, aku bisa pulang
sendiri.”jawabku menenangkannya.
5 menit setelah
kepergiannya, hujan turun dengan deras. Mengurungkan niatku untuk segera
pulang. Suasana yang dingin dan sepi seperti ini membuat bulu kudukku
merinding. Saat mengedarkan pandangan ke sekitar aku merasa ada orang yang
berjalan ke arahku. Sebenarnya aku ragu untuk melihatnaya, makanya aku diam dan
sedikit menutup mata sekaligus berdoa dalam hati, semoga semua itu hanya
halusinasiku saja.
Beberapa saat
berlalu memang tak ku dengar suara langkah kaki. Tapi aku merasa ada orang di
belakangku. Aku menggerakkan jariku untuk memilih diam saja atau menengok tapi
semua itu hilang saat ada gerakan tangan mengarah kebahuku.
“AAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaa.”teriakku
agak keras secepat kilat ku menutup mata dengan kedua tanganku. “Tolong jangan
ganggu aku, aku gak ngelakuin apa-apa kok. Tolong..”kataku lirih.
“Hahahahha...”tawa
itu menggema dari arah belakangku. Dengan cepat aku menoleh ke arahnya. Dan itu
Kevin?? Dia tertawa puas melihat ketakutanku tadi. Kesal dan malu membuatku
menggenapkan hati untuk berlari melawan hujan itu. Dia sudah menolakku dan
sekarang menertawakanku. Ini benar-benar hari sialku.
***
KEVIN POV
Aku menyesal
membuatnya berlari ditengah hujan. Saat ingin mengejarnya, kunci motorku
tertinggal di kelas. Itu membuatku berlari ke lantai 2, itulah membuatku
kehilangan jejaknya. Sampainya dirumah, sebelum membersihkan diri, aku berniat
menelponnya dan meminta maaf. Tapi sayangnya, nomornya itu sudah tak aktif. Dia
tidak apa-apakan? Aku mengutuk diriku sendiri kalau sampai terjadi sesuatu
padanya.
Keesokan paginya
aku mengedarkan pandangan pada kelasnya, tapi tak aku temukan dia juga. Aku mengajak
ngobrol salah satu temanku yang sekelas dengannya, tapi dia juga tidak kunjung
datang. Sampai bel berbunyipun dia juga belum datang. Apa dia sakit?
Dengan agak
berlari aku melihat ke arah kelasnya. Ternyata dia sedang menulis di papan
tulis. Tapi kenapa dia tidak ada saat aku menunggunya? Syukurlah dia tidak
apa-apa. “Ternyata ingin melihat salah satu anak cewek kelas A yya.”ejek
teman-temanku saat melihat sikapku aneh pagi ini. Dengan langkah cepat aku
menggeret salah satu dari mereka untuk ke kantin. Aku sampai tidak sarapan
karna dia? Akh kenapa selalu dia yang ada di otakku?
Apa karena
pengakuannya dulu? Sejak itupun dia selalu menghindariku? Kalau saja dia tahu
keadaan sebenarnya, apa kita masih berteman baik?
“Jangan bilang
kalau memikirkan dia?”bisik Bima, salah satu teman dekatku. Dia sudah berteman
lama dengaku, kadang aku bercerita tentang cewek-cewek yang menembakku.
“Dia siapa?”kataku
mengelak. Dengan wajahnya yang menyebalkan itu menatapku dengan tajam. Kemudian
tertawa, membuat beberapa temanku jadi bingung. Bima sedikit aneh? Disaat orang
lain serius, dia bercanda, kadang beberapa minta pendapat dia malah bersikap
aneh. Tapi satu hal yang tidak di miliki kebanyakan orang. Sikapnya itu menenangkan.
Meskipun responnya aneh tapi dia tidak pernah meremehkan. Nilai plus yang unik.
“Yah, kalau
dipungkiri terus mending buatku saja.”ejeknya lagi setelah menyelesaikan tawa
menyebalkannya itu. Aku memasang mata tajam seperti ingin membunuhnya dia
tertawa sambil memasang kuda-kuda. “Berani mendekatinya, jangan salahkan aku
jika wajahmu yang menyebalkan itu biru.”ancamku lalu pergi.
***
“Fiuhh..”suara
lega seseorang memaksaku menengok kesebalahku. Dia? Flora terlihat pucat dan
lelah berdiri di sampingku. Biasanya dia akan menghindar bila di dekatku, tapi
kenapa dia diam saja sambil menunggu pesanannya. Apa mungkin dia tidak merasa
ada aku disebelahnya.
“Vin, pesenin
somay ya.”suara Bima keras membuat konsetrasiku buyar. Disaat seperti ini ada
saja gangguannya. Kenapa susah sekali berada di dekatnya. Dan benarkan? Saat dia
melihatku, dia kemudian berlalu. Sebenarnya dia pergi karena memang pesanannya
sudah di tangannya, tapi kan aku bisa menatapnya agak lama lagi. “Nih..”kataku
kesal pada Bima.
END POV
“Kenapa aku tidak
merasa dia disebelahku tadi? Biasanya jantungku akan berdetak kencang bila ada
dia? Apa mungkin karna badanku yang tidak enak?”gumamku sambil membawa
pesananku dengan Andin, teman terdekatku yang sekarang sekelas dengan Kevin.
Aku berjalan ke
ujung kantin. Disana Andin dan Karin sudah menungguku. Mereka terlihat akrab
dengan beberapa anak cowok, mereka memang supel? Berbeda denganku. “Katanya
bakalan ada anak baru dikelasmu, Din.”kata Karin mengalihkan topik sebelumnya. Aku
yang di depannya hanya menatap penuh tanya dan meminta jawaban. “Katanya sih
anak cowok juga. Kenapa sih harus kelas C?? Secara gitu semua orang tahu, kelas
A yang lebih lebih dan lebih.”lanjutnya sedikit meledek. Membuat anak kelas C
yang disebelahnya menatap tajam Karin. Ehh,, yang ditatap malah senyum-senyum
gila.
“Bagus donk. Berarti
kalian bisa berkunjung ke kelas kami.”jawab salah satu anak cowok di
sebelahnya. Aku hanya diam. Malas ikut andil dalam pembicaraan tak jelas itu. “Kamu
nggak apa-apa kan Flo? Dari tadi diam aja?”tanya Andin agak berbisik ke arahku.
Dia memegang dahiku, “Wah badanmu panas Flo. Ayok ke UKS.”kata Andin berteriak.
Membuat semua orang disana menoleh ke arahku. Mereka menatapku dengan agak
aneh. Dan itu membuatku melirik tajam ke arah Andin. Sementara dia malah cuek
dan bangun dari bangkunya kemudian menarikku ke UKS. “Puas mempermalukan aku.”kataku
tegas. Dia hanya diam dan tetap menarikku.
Sampainya di UKS.
Dia meminta temannya yang jaga untuk mengobatiku. Dan memaksaku untuk istirahat
di sini. Seberapapun aku menolak dengan tegas dia melarang. Dia memang sangat
sulit untuk di lawan. Yah, setidaknya aku tak bertemu siapapun disini. Aku hanya
duduk memandang taman sekolah yang sekarang jarang aku datangi. Dulu alasanku
kesini adalah melihat Kevin yang duduk membaca buku sambil mendengarkan
earphone. Hanya memandangnya saja, jantungku berdetak kencang dan wajahku
memerah.
Sekarang karena
menghindar darinya, segala tempatpun aku jarang kunjungi. Kegiatanku hanya,
dikelas atau kantin. Sangat aneh, tapi susah untuk melupakan dia. Sekarang aku
malah berjalan ke arah jendela yang menghadap taman itu dan melihat dua orang
disana. Aku terkejut melihatnya. Dia?? Dia bersama cewek? Pantas menolakku.
“Maaf. Sudah ada
orang yang ku suka.”katanya dengan agak menyesal. Aku bisa mendengarnya
meskipun samar-samar.
“Aku boleh tahu
dia siapa?”balas cewek itu dengan nada lembut. Gladis namanya, dia salah satu
cewek yang populer. Dia sekelas denganku. Banyak yang menyukainya tapi tak ada
satupun yang ia terima. Jadi karena Kevin? ‘Stop it, jangan ikut campur urusan
orang lain lagi, Flo’kataku dalam hati.
“Dia juga sekolah
disini. Tapi namanya aku rahasiakan. Hehehe”kata Kevin mencoba menghibur.
Wait! Tunggu! Ada
yang dia suka? Di sekolah ini? Siapa? ‘Flora ini bukan urusanmu’kataku
mengintruksi semua bagian diriku yang memikirkan cowok cuek itu.
***
“Hai.”katanya
saat aku melewatinya. Aku hanya diam dengan sapaannya, karena kurasa itu bukan
aku. Aku terus berjalan ke arah gerbang sampai tangan itu menarikku agar
berhenti. “Bisa bicara sebenrar”katanya dengan serius. Aku hanya diam
memandangnya. Sejak kapan dia mau berbicara denganku.
“Mau apa?”tanyaku
ragu. Dia memandangku dan melepas tangannya di tanganku. Sedikit mengecewakan
tapi ini pertama kalinya dia menggenggam lembut tanganku.
“Aku antar pulang
yah.”katanya sambil menarikku naik ke motornya. Dia tak menunggu jawaban
dariku. Benar-benar senaknya? Dia terus menarikku sampai naik ke motornya. Untung
hari ini sepi? Kalo nggak, habislah aku dengan tatapan iri para fanssnya. Dia menaiki
motornya dengan kencang melewati jalan yang sama sekali berbeda arah denganku.
Aku sudah memberi
aba-aba tapi sama sekali dia tak menghiraukan. Dia mengajakku ke tempat yang
sama sekali belum ku tahu. Jalan ini belum pernah aku lewati meskipun dari
lahir aku tinggal di kota ini. Sekitar 15 menit akhirnya dia berhenti di rumah
yang mungil tapi asri. Aku turun dan menatap kagum rumah itu.
Banyak tanaman
indah disana, jarang sekali ada rumah yang damai seperti ini. Setelah memarkir
motornya, lagi-lagi dia menggandeng tanganku untuk masuk. Pintunya tidak
terkunci. Dia masuk ke ruangan yang bercat biru langit yang di design khusus
sepertinya, banyak peralatan kesehatan disini. Aku sedikit terkejut? Memangnya siapa
yang sakit?
“Kevin.”sapa
seorang wanita yang baru keluar dari salah satu ruangan yang lain. Kemudian berjalan
ke arah kami dan menatapku dengan sangat lembut. “Ada apa?”katanya menatap Kevin.
“Periksa dia, Kak.”katanya
dengan tegas. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Jauh-jauh kesini hanya untuk
memeriksa keadaanku. Aku hanya menatapnya heran. “Ayo.”ajak wanita itu padaku. Aku
mengikutinya sampai ke ruangan yang kecil tapi rapih itu. Aku hanya diam
melihat wanita itu mengambil alat yang dibutuhkannya. Kemudian ke sebelahku
sambil tersenyum.
“Namaku Cita. Aku
Kakaknya Kevin.”katanya mengawali pembicaraan. Dengan telaten dia mulai
memeriksa keadaanku.
“Namaku Flora, Kak.”jawabku
gugup.
“Pasti terkejut
yah. Dia pasti memaksamu untuk ikut.” Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan
itu. dia pasti sangat tahu sifat adiknya itu.
“Dia akan selalu
panik dengan semua orang yang paling disayanginya?”
“Sayang?”
“Loh!! Kamu bukan
pacarnya?”
“Bukan Kak, aku
hanya temannya.”
“Berati teman
dekatnya yah.”
“Aku hanya teman
sekelasnya waktu kelas 1. Sekarang kami beda kelas.”
“Begitu yah. Sayang
sekali.”
Tunggu,
sebenarnya maksud Kak Cita apa? Paling disayangi? Pacar? Teman dekat? Dan Sayang
sekali? Aneh! “Kevin tidak pernah mengajak siapapun kesini kalau orang itu tak
penting di hidupnya.”barusan Kak Cita bicara apa? Kenapa seolah-olah aku merasa
di perlalukan istimewa. Sebenarnya apa maksudnya? Dia sudah menolakku kok
dengan tegas.
“Jangan racuni
dia dengan omongan Kakak yang aneh.”suara Kevin dari arah pintu. Kak Cita hanya
melihat tajam ke arahnya, kemudian menyudahi pemeriksaannya padaku. “Bagaimana
keadaannya.”kata Kevin yang mendekati kami.
“Dia kelelahan
saja.”jawab Kak Cita lalu memandangku. “Apa kemarin kehujanan? Sepertinya kamu
punya magh yah.”katanya menatapku dengan ramah. Dia seperti dokter, tapi kenapa
di rumah mungil yang jauh dari jangkauan masyarakat pada umumnya. Aku hanya
mengangguk. “Ini.. sebelum mengantarnya pulang tebus dulu resep itu ke apotik.”katanya
pada adiknya itu.
“Tidak ada yang
seriuskan?”
“Tidak ada. Wajahmu
jangan seperti itu? Aku ini dokter.”
“Aku hanya ingin
memastikannya saja. Kau kan suka bercanda.”
“Kau meragukanku,
anak kecil. Kalau begitu jadilah seorang dokter, jadi tidak usah membuat orang
lain merasa bingung atas sikapmu.”
“Aku hanya
bertanggung jawab atas salahku. Dia kehujanan gara-gara aku.”
“Kau memang
adikku yang menyebalkan. Sedingin itukah pada korban sikapmu itu.”
Meskipun sedikit
sakit saat ucapannya itu. Aku bisa terhibur dengan pembelaan Kak Cita padaku. Senang
rasanya punya saudara. Aku anak tunggal, jadi selain Bibi tak ada yang
menemaniku. Orang tuaku sibuk dengan urusan mereka. Melihat mereka aku tertawa,
ini pertama kalinya aku tertawa pada dua orang yang tak ku kenal.
Karena tawaku,
perhatian mereka ke arahku. Mungkin merasa aneh, karena disini aku saja yang
tertawa. Sulit untuk membuat tawa ini berhenti. “Kamu lebih menarik saat
tertawa.”kata Kak Cita. Yang sukses memberhentikan tawaku. Kevin hanya diam
kemudian berjalan keluar, “Ayo kita pulang. Bisa gila kau terlalu bersama
dokter aneh itu.”katanya sebelum menghilang di balik pintu kayu itu.
Dengan cepat aku
turun dari tempat tidur. Dan merapikan pakaian yang agak berantakan. “Terimakasih
ya, Kak.”kataku sebelum beranjak pergi. “Dia sulit di dekati, jadi jangan
berhenti ya untuk berteman dengannya.”kata Kak Cita serius. Aku memandangnya
penuh tanda tanya. “Kapan-kapan datanglah kesini? Itupun kalau kamu berminat
pada cowok dingin itu.”lanjutnya sambil tersenyum penuh arti.
Aku hanya
membalas senyumnya dan beranjak meninggalkannya. Kevin sudah menstarter motor
dan memakai helm. Dia sudah siap mengantarku pulang. Aku naik ke motornya. Semenit
kemudian dia menjalankan motornya dengan sangat kencang, melebihi kecepatannya
dari sebelumnya. Membuatku mau tak mau memeluk urat punggungnya jika tak ingin
sesuatu buruk terjadi.
Hangat dan
menenangkan. Aku menyenderkan tubuhku ke punggungnya kemudian terlelap.
0 komentar:
Posting Komentar