Minggu, 03 Juni 2012

RUMIT



RUMIT


“Hmmm... pacar itu bukan prioritas dari segala urusan kamu, kalau jadi pacar aja dia ga bisa pengertian apalagi nanti ke depannya. Dia boleh kecewa tapi kamu ga bisa kan ada di dua tempat yang sama.”

“Kakak... kenapa Ibu maksa kita harus ikut sih?”

“Nenek pengen kita semua ada disana. Jangan merajuk Ra.”

Aku Mahadewi Aira. Saat ini aku dilanda galau. Nenek memaksa keluargaku untuk menetap di rumahnya. Padahal 2 tahun yang lalu, beliau seenaknya menyuruh Ayah untuk mandiri dengan mengurus keluarganya tanpa campur tangan darinya.

Sebenarnya Ayah hanya seorang pengusaha kecil yang sedang memajukan usahanya di kota ini. Sejak dulu Ayah memang menaruh minat pada perdagangan barang-barang teknologi. Tapi Kakek menolak tegas. Kakek juga seorang pengusaha. Ia lebih tertarik di bidang jasa pelayanan. Dan itu tidak menurun pada Ayah, anak satu-satunya beliau.

Kakek meninggal sebulan yang lalu, itu alasan utama Ayah memaksa kami ikut dan tinggal bersama Nenek. Meskipun Nenek bawel dan sering mengatur, aku tahu dia sangat sayang padaku dan Kakak perempuanku, Aluna. Tapi alasan utamaku adalah hubunganku dengan seorang laki-laki yang baru aku jalani sebulan terakhir.


“Kakak... aku harus bagaimana?”tanyaku pada Kakakku satu-satunya. Ia sedang sibuk merapikan barang-barangnya ke kardus. “Mau kamu gimana?”tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

“Aku nggak berani bilang sama Kak Advan. Aku gak mau Kak, pisah sama dia.”kataku merajuk, dengan tatapan kesal namun lembutnya, Kak Luna memandangku. “Aku kan udah bilang. Jangan merajuk. Aku bukan Ayah atau Ibu yang bisa memutuskan. Sudah bilang saja sejujurnya. Pasti dia akan mengerti.”

Jawaban yang tak menenangkan bagiku, aku hanya diam melihat Kakakku yang cantik itu merapikan barang-barang yang akan dibawa kesana, sisanya hanya disimpan rapi disini. Toh ini masih rumah kami, mungkin suatu saat nanti salah satu dari kami bisa menetap lagi dirumah ini.

Dengan berat hati aku melangkahkan kaki ke kamarku. Sebenarnya aku inisiatif sendiri karena tak berniat menunggu yang punya kamar mengusir. Kak Luna hanya menggelengkan kepala melihat sikapku yang manja padanya, aku lebih terbuka padanya dibanding kepada orang tuaku sendiri.

Kak Luna beda 2 tahun denganku. dia sih tak perlu mengurusi kepindahan sekolah, karena memang dia akan memulai kuliahnya pada tahun ini. Dan Ayah memang merencanakan kampus terbaik di tempat Nenek dari dulu.

Aku hanya heran pada Kakakku itu. Dari SMP sampai lulus SMA, tak ada kata laki-laki di kalimatnya tapi setiap nasehat yang dia berikan selalu membuatku tercengang. Sebenarnya dia sudah punya pacar atau belum? Dia jarang terbuka untuk masalah itu?

‘Aku harus bicara padanya besok.’gumamku saat menatap wajah seseorang di atas meja belajarku. Dia?? Cowok yang sedang berpacaran denganku. Aku sangat menyukainya sejak awal masuk sekolah. Saat dia dan Kakak kelas yang lain menge-MOS kami. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sejak saat itu aku dan teman dekatku mencari informasi tentangnya, siapa nama lengkapnya? Kelas berapa? Hobi apa? Rumah dimana? Dan yang paling penting apakah dia sudah punya pacar atau belum! Ditambah lagi berapa nomor ponselnya?

Seminggu lebih aku mencari tahu tentangnya. Yuph. Jawaban menyenangkan adalah dia baru putus dari pacarnya. Itu berarti harapanku terbuka lebar. Didukung dengan semua informasi akurat dari sumber yang terpercaya. Membuatku memberanikan diri masuk ke dalam kehidupan pribadinya.

Butuh waktu sebulan untuk dia melihatku dan menjadikan aku seorang cewek spesial di hidupnya. Dan kini aku harus kembali ke kenyataan bahwa aku akan pindah saat kenaikan kelas nanti.

Aku yang lancang masuk dan kini juga yang lancang pergi. ‘Kak Advan, ikut aku saja melanjutkan sekolah disana.’kataku sambil menatap wajah tampannya di poto itu. Kemudian aku melanjutkan langkahku ke tempat yang paling aku sukai, kasur blue ku, apa lagi selain itu?

Keesokan paginya, saat aku menuruni tangga. Ku lihat orang tuaku sudah terburu-buru membawa koper mereka keluar rumah dan dengan cepat menjalankan mobilnya. Sesampainya di dapur kulihat Kak Luna dan Mbak Imah, pembantu kami sedang menyiapkan sarapan di atas meja.

“Pagi semua.”sapaku pada dua orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku mengambil roti lalu mengolesinya dengan selai coklat. “Kak, mereka mau kemana buru-buru.”tanyaku saat sapaanku tak dapat jawaban dari mereka.

Semenit, dua menit sampai 5 menit tak ada jawaban membuatku sedikit kesal dan meletakkan gelas seenaknya. Karena isinya sudah ku minum sebelumnya. Mereka hanya menatapku seribu bahasa. Aku malas mengira-ngira kalimatnya hingga kuputuskan untuk cepat pergi ke sekolah saja.

“Tadi sebelum Ibu pergi bilang, kita akan pindah lusa.”kata Kak Luna padaku saat aku akan beranjak dari kursi. Aku hanya menatap dingin Kakakku sambil mengisyaratkan untuk melanjutkan kalimatnya. “Ibu sudah meminta orang untuk mengurusi kepindahanmu dengan cepat.”tambahnya tanpa memandangku.

“Kak, ada yang kamu sembunyikan kan? Ayo jawab aku.”

“Nggak. Sudah sana berangkat.”

“Jangan menghindar, ayo tatap mataku.”

“Nenek ingin menjauhkanmu dengan cowok itu. makanya mereka memaksa kita harus ikut.”

“MWO!! Jangan bercanda Kak. Nenek tidak kenal Kak Advan.”

“Nenek tahu semuanya. Ada banyak orang yang bisa dijadikan mata-mata olehnya. Kau tahukan  bahwa kita ...”

‘kita sudah dijodohkan dengan beberapa rekan bisnis Kakek dulu’, kataku melanjutkan ucapan Kak Luna. Jadi karena ini mereka memaksaku untuk secepatnya pindah dari sini.

Kalau aku boleh memilih, aku ingin mencoret namaku dari keluarga ini. Keluarga yang hanya mementingkan harta di setiap penerusnya. Orang tuaku juga dijodohkan, mereka mengerti perasaan kami tapi tak bisa berbuat banyak.

Nenek punya penyakit jantung. Bagi Ayah, Kakek meninggal adalah kesalahan terbesarnya apalagi kalau jantung Nenek kambuh. Ayah akan mengutuk dirinya sendiri mungkin. Makanya dia hanya menurut dan mengiyakan semua kata Nenek.

Aku tarik kata-kataku bahwa Perempuan tua itu baik hati dan menyayangiku, dia hanya menganggap aku sebagai aset berharga yang bisa di perhitungkan nilai gunanya.

Aku menangis sesegukan di hadapan kedua orang wanita dihadapanku. Dengan lembut Kak Luna merangkulku, “Ini alasanku kenapa tak pernah berbicara laki-laki padamu. Karena sulit untuk kita menjalaninya.”bisiknya padaku. Kemudian dia merangkulku dengan sangat erat.

‘Kalau aku sudah jadi dokter. Impian utamaku adalah menjadikanmu sebagai istriku.’terbesit ingatanku tentang ucapan Kak Advan dulu. Dan itu hanya akan jadi impiannya saja menurutku. “Sudah jangan menangis.”kata Kak Luna lembut sambil melepaskan pelukannya.

Dia kembali ke aktivitas awalnya. “Ra, sekalipun mereka memaksa kita untuk melakukan itu, tapi semua Tuhan yang menentukan. Jangan menyerah ya.”kata Kak Luna memberi dorongan semangat.

Seperti hembusan angin menenangkan akupun tersenyum manis kepadanya. ‘Ya, aku pasti akan melakukan banyak hal untuk itu.”kataku tegas dalam hati.

Aku bukan pergi meninggalkanmu
Aku hanya memperjauh jarak diantara kita
Sampai sejauh mana kita bisa memperdekat jarak itu dengan satu keyakinan

0 komentar: