RUMIT
“Hmmm... pacar itu bukan prioritas dari
segala urusan kamu, kalau jadi pacar aja dia ga bisa pengertian apalagi nanti
ke depannya. Dia boleh kecewa tapi kamu ga bisa kan ada di dua tempat yang
sama.”
“Kakak... kenapa Ibu maksa kita harus
ikut sih?”
“Nenek pengen kita semua ada disana. Jangan
merajuk Ra.”
Aku Mahadewi Aira. Saat ini aku dilanda
galau. Nenek memaksa keluargaku untuk menetap di rumahnya. Padahal 2 tahun yang
lalu, beliau seenaknya menyuruh Ayah untuk mandiri dengan mengurus keluarganya
tanpa campur tangan darinya.
Sebenarnya Ayah hanya seorang pengusaha
kecil yang sedang memajukan usahanya di kota ini. Sejak dulu Ayah memang
menaruh minat pada perdagangan barang-barang teknologi. Tapi Kakek menolak
tegas. Kakek juga seorang pengusaha. Ia lebih tertarik di bidang jasa
pelayanan. Dan itu tidak menurun pada Ayah, anak satu-satunya beliau.
Kakek meninggal sebulan yang lalu, itu
alasan utama Ayah memaksa kami ikut dan tinggal bersama Nenek. Meskipun Nenek
bawel dan sering mengatur, aku tahu dia sangat sayang padaku dan Kakak
perempuanku, Aluna. Tapi alasan utamaku adalah hubunganku dengan seorang
laki-laki yang baru aku jalani sebulan terakhir.
“Kakak... aku harus bagaimana?”tanyaku
pada Kakakku satu-satunya. Ia sedang sibuk merapikan barang-barangnya ke
kardus. “Mau kamu gimana?”tanyanya tanpa menoleh ke arahku.
“Aku nggak berani bilang sama Kak Advan.
Aku gak mau Kak, pisah sama dia.”kataku merajuk, dengan tatapan kesal namun
lembutnya, Kak Luna memandangku. “Aku kan udah bilang. Jangan merajuk. Aku bukan
Ayah atau Ibu yang bisa memutuskan. Sudah bilang saja sejujurnya. Pasti dia
akan mengerti.”
Jawaban yang tak menenangkan bagiku, aku
hanya diam melihat Kakakku yang cantik itu merapikan barang-barang yang akan
dibawa kesana, sisanya hanya disimpan rapi disini. Toh ini masih rumah kami,
mungkin suatu saat nanti salah satu dari kami bisa menetap lagi dirumah ini.
Dengan berat hati aku melangkahkan kaki
ke kamarku. Sebenarnya aku inisiatif sendiri karena tak berniat menunggu yang
punya kamar mengusir. Kak Luna hanya menggelengkan kepala melihat sikapku yang
manja padanya, aku lebih terbuka padanya dibanding kepada orang tuaku sendiri.
Kak Luna beda 2 tahun denganku. dia sih
tak perlu mengurusi kepindahan sekolah, karena memang dia akan memulai
kuliahnya pada tahun ini. Dan Ayah memang merencanakan kampus terbaik di tempat
Nenek dari dulu.
Aku hanya heran pada Kakakku itu. Dari
SMP sampai lulus SMA, tak ada kata laki-laki di kalimatnya tapi setiap nasehat
yang dia berikan selalu membuatku tercengang. Sebenarnya dia sudah punya pacar
atau belum? Dia jarang terbuka untuk masalah itu?
‘Aku harus bicara padanya besok.’gumamku
saat menatap wajah seseorang di atas meja belajarku. Dia?? Cowok yang sedang
berpacaran denganku. Aku sangat menyukainya sejak awal masuk sekolah. Saat dia
dan Kakak kelas yang lain menge-MOS kami. Aku jatuh cinta pada pandangan
pertama.
Sejak saat itu aku dan teman dekatku
mencari informasi tentangnya, siapa nama lengkapnya? Kelas berapa? Hobi apa? Rumah
dimana? Dan yang paling penting apakah dia sudah punya pacar atau belum! Ditambah
lagi berapa nomor ponselnya?
Seminggu lebih aku mencari tahu
tentangnya. Yuph. Jawaban menyenangkan adalah dia baru putus dari pacarnya. Itu
berarti harapanku terbuka lebar. Didukung dengan semua informasi akurat dari sumber
yang terpercaya. Membuatku memberanikan diri masuk ke dalam kehidupan
pribadinya.
Butuh waktu sebulan untuk dia melihatku
dan menjadikan aku seorang cewek spesial di hidupnya. Dan kini aku harus
kembali ke kenyataan bahwa aku akan pindah saat kenaikan kelas nanti.
Aku yang lancang masuk dan kini juga
yang lancang pergi. ‘Kak Advan, ikut aku saja melanjutkan sekolah disana.’kataku
sambil menatap wajah tampannya di poto itu. Kemudian aku melanjutkan langkahku
ke tempat yang paling aku sukai, kasur blue ku, apa lagi selain itu?
Keesokan paginya, saat aku menuruni
tangga. Ku lihat orang tuaku sudah terburu-buru membawa koper mereka keluar
rumah dan dengan cepat menjalankan mobilnya. Sesampainya di dapur kulihat Kak Luna
dan Mbak Imah, pembantu kami sedang menyiapkan sarapan di atas meja.
“Pagi semua.”sapaku pada dua orang yang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku mengambil roti lalu mengolesinya
dengan selai coklat. “Kak, mereka mau kemana buru-buru.”tanyaku saat sapaanku
tak dapat jawaban dari mereka.
Semenit, dua menit sampai 5 menit tak
ada jawaban membuatku sedikit kesal dan meletakkan gelas seenaknya. Karena isinya
sudah ku minum sebelumnya. Mereka hanya menatapku seribu bahasa. Aku malas
mengira-ngira kalimatnya hingga kuputuskan untuk cepat pergi ke sekolah saja.
“Tadi sebelum Ibu pergi bilang, kita
akan pindah lusa.”kata Kak Luna padaku saat aku akan beranjak dari kursi. Aku hanya
menatap dingin Kakakku sambil mengisyaratkan untuk melanjutkan kalimatnya. “Ibu
sudah meminta orang untuk mengurusi kepindahanmu dengan cepat.”tambahnya tanpa
memandangku.
“Kak, ada yang kamu sembunyikan kan? Ayo
jawab aku.”
“Nggak. Sudah sana berangkat.”
“Jangan menghindar, ayo tatap mataku.”
“Nenek ingin menjauhkanmu dengan cowok
itu. makanya mereka memaksa kita harus ikut.”
“MWO!! Jangan bercanda Kak. Nenek tidak
kenal Kak Advan.”
“Nenek tahu semuanya. Ada banyak orang
yang bisa dijadikan mata-mata olehnya. Kau tahukan bahwa kita ...”
‘kita sudah dijodohkan dengan beberapa
rekan bisnis Kakek dulu’, kataku melanjutkan ucapan Kak Luna. Jadi karena ini
mereka memaksaku untuk secepatnya pindah dari sini.
Kalau aku boleh memilih, aku ingin
mencoret namaku dari keluarga ini. Keluarga yang hanya mementingkan harta di
setiap penerusnya. Orang tuaku juga dijodohkan, mereka mengerti perasaan kami
tapi tak bisa berbuat banyak.
Nenek punya penyakit jantung. Bagi Ayah,
Kakek meninggal adalah kesalahan terbesarnya apalagi kalau jantung Nenek
kambuh. Ayah akan mengutuk dirinya sendiri mungkin. Makanya dia hanya menurut
dan mengiyakan semua kata Nenek.
Aku tarik kata-kataku bahwa Perempuan
tua itu baik hati dan menyayangiku, dia hanya menganggap aku sebagai aset
berharga yang bisa di perhitungkan nilai gunanya.
Aku menangis sesegukan di hadapan kedua
orang wanita dihadapanku. Dengan lembut Kak Luna merangkulku, “Ini alasanku
kenapa tak pernah berbicara laki-laki padamu. Karena sulit untuk kita
menjalaninya.”bisiknya padaku. Kemudian dia merangkulku dengan sangat erat.
‘Kalau aku sudah jadi dokter. Impian utamaku
adalah menjadikanmu sebagai istriku.’terbesit ingatanku tentang ucapan Kak
Advan dulu. Dan itu hanya akan jadi impiannya saja menurutku. “Sudah jangan
menangis.”kata Kak Luna lembut sambil melepaskan pelukannya.
Dia kembali ke aktivitas awalnya. “Ra,
sekalipun mereka memaksa kita untuk melakukan itu, tapi semua Tuhan yang
menentukan. Jangan menyerah ya.”kata Kak Luna memberi dorongan semangat.
Seperti hembusan angin menenangkan akupun
tersenyum manis kepadanya. ‘Ya, aku pasti akan melakukan banyak hal untuk itu.”kataku
tegas dalam hati.
Aku bukan
pergi meninggalkanmu
Aku hanya
memperjauh jarak diantara kita
Sampai
sejauh mana kita bisa memperdekat jarak itu dengan satu keyakinan
0 komentar:
Posting Komentar